Seumpama buah syariat adalah kulit. Kulit tanpa biji tentu tak bisa ditanam. Artinya, amal kita hanya akan bernilai duniawi: masuk di akal tidak masuk di hati. Berpenyanggah namun tidak berpondasi. Tidak bisa menjadi simpanan akhirat alias “zonk”.
Pola hidup dan amal seperti inilah yang kelak akan banyak membuat ahli ibadah terkaget-kaget. Perhatiannya akan bungkus semata membuat mereka terhenyak. Menerima catatan amal ternyata tertulis: “Anda belum beruntung”.
Baik di sisi makhluk, sempurna di mata dunia, namun merugi di sisi Allah. Mereka shalat, tapi shalatnya membuat mereka celaka. Mereka membaca ayat-ayatNya, namun sebatas terhenti di kerongkongan. Puasa mereka adalah puasa tak lebih lapar dan dahaga. Bila bersedekah hanya untuk pamer.
Sementara hakikat, seumpama buah ia adalah biji. Biji tanpa kulit, selain tak bisa dimakan; mentah dan pahit. Mereka yang benar-benar berhakikat dan menekuni ilmu biji ini, maka buruk di mata dunia namun mungkin saja baik di sisi Allah.
Mereka tampak tak punya amal apa-apa. Tapi keberadaannya tiada merugikan orang lain, ibadah-ibadahnya pun lebih mengutamakan ibadah batiniah atau tersembunyi. Hanya saja, tanpa amal syariat mereka rentan diperdaya Iblis dan disesatkan setan.
Pemahaman mereka akan kesejatian bukannya menjadikannya buah ketaatan kepadaNya, justru sebaliknya menafikan kodratnya sebagai makhluk jasadi. Inilah tauhid yang tanpa memasuki pintu rasulullah.
Sama seperti ahli syariat semata, mereka akan direkrut Iblis untuk merasa baik dan jumawa secara samar. Bedanya, mereka menampilkan keburukan namun di sisi lainnya suka merendahkan orang-orang yang taat, tunduk dan berserah diri pada Allah.
Lantas, bagaimanakah mengawinkan keduanya itu? Antara kulit dan biji? Tiada lain adalah dengan cara bertarekat atau menempuh jalan suluk (salik). Baik itu dari kulit ke biji, maupun dari biji ke kulit. Dari situlah nantinya antara kulit dan biji terbentuklah namanya isi (daging buah). Maka lengkaplah ia menjadi buah yang utuh dan matang: bisa dimakan, dan bijinya pun bisa ditanam. Itulah buah makrifat, pertemuan antara lahir dan batin.
Maka saatnya lah buah itu dinikmati, dan kemudian bijinya ditanam menjadi pohon makrifatullah. Maka amal yang selaras, antara biji dan kulit, antara syariat dan hakikat, antara hati dan jasad itu akan menutupi lubang-lubag amal dan persaksian yang sebelumnya bopeng dan tak lengkap.
Insya Allah. Allahu A’lam. [sc]