Secara tampakan lahir seseorang yang mengamalkan syariat tampak sama. Namun antara mereka yang sekadar memenuhi kewajiban dengan mereka yang dikatakan penempuh (bertarekat/suluk) tidaklah sama.
Walaupun sama-sama melakukan shalat (sebagai misal) kau dikatakan bertarekat bilamana disertai dengan azimah (kesungguhan batin) hendak menuju Allah: Memenuhi panggilan penghambaan.
Sebab itu orang yang bertarekat sudah pasti diikuti dengan tirakat (riyadlah); penggemblengan diri. Inti dari tarekat adalah melanggengkan ubudiyah (penghambaan) yang musykil digambarkan secara lahiriah tanpa pelaksanaan rukun-rukun ibadah.
Melanggengkan ubudiyah ini berupa pernyataan tentang kesinambungan hudhur (hadirnya hati) bersama Allah Swt. Bersinambung artinya terus menerus dalam setiap keadaan. Pada siang, malam, di perjalanan, keadaan sehat, sakit, suka dan duka dan sebagainya. Mestilah hati dalam keadaan hudhur (hadir bersama Allah Swt).
“Allazina hum ‘ala shalatihim daimun; yang mereka itu tetap (langgeng) mengerjakan shalatnya.” QS. Al-Ma’arij: 23.
Maka bagi seorang murid, salik, dan penempuh. Ia mesti memulai untuk mengerahkan segala potensi dirinya untuk melanggengkan ibadah lahiriah sekaligus keadaan hati yang hadir bersamaNya. Itu mesti dilakukan dalam setiap keadaan. Setiap kali hatinya lalai dari bersama Allah, maka ia jatuh kembali sebagai golongan awam. Ia mesti kembali mengerahkan hatinya untuk bersamaNya. [sc]