Umum menjadi pertanyaan, apakah untuk menempuh jalan menuju wushul (sampai) kepada Allah SWT., seseorang harus berthariqoh? Jawabannya adalah tidak harus. Hal ini bila yang dimaksudkan thariqoh di sini sebagai suatu kelembagaan (jam’iyyah) spiritual.
Secara umum, menjalankan syariat dengan azimah (kesungguhan batin) dan riyadlah (tirakat khusus) itu sudah dapat dikatakan bertarekat. Artinya, seseorang itu juga sedang dalam perjalanan untuk mengembangkan diri dalam makna penghambaannya kepada Allah.
Hanya saja, dalam pandangan saya. Bahwa bertarekat haruslah memiliki guru, ini bisa dikatakan tak dapat dielak. Bagi mereka yang benar-benar hendak berjalan menuju kedekatan kepada Allah: bukan menuju angan-angan dan bayangan-bayangannya sendiri.
Sebab secara hakikatnya, bilamana kita tidak memiliki guru dalam bertarekat atau suluk sama halnya dengan mengikuti angan-angan dan khayalan sendiri. Tidak mengindahkan makna “rasulullah” yang bertajalli dalam kehidupan ini.
Wa mā kāna libasyarin ay yukallimahullāhu illā waḥyan au miw warā`i ḥijābin au yursila rasụlan fa yụḥiya bi`iżnihī mā yasyā`, innahụ ‘aliyyun ḥakīm. Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS. As-Syu’ara: 51)
Bahwa pada kenyataannya, cahaya ilmuNya itu diturunkan ke dada para salik, murid atau penempuh melalui perantara (wasilah). Perantara-perantara itupun berbagai macamnya:
Pertama, tersurat (Wahyu). Maka seorang salik mesti berpedoman kepada kitab atau risalah yang dibawa oleh para rasul. Sebab ini adalah bentuk pengajaran Allah dalam bentuk yang tersurat.
Kedua, tersirat (Sebalik Hijab). Jika pengajaran Allah itu terdapat pada yang tersurat, selain itu pengajaranNya juga berada dalam hal yang tersirat. Apakah yang tersirat itu? Atau di sebalik hijab itu? Yakni kenyataan hidup yang ada pada alam semesta ini. Guru daripada pengalaman hidup menghadapi kenyataan-kenyataan yang adalah kenyataanNya.
Ketiga, utusan. Maka seorang salik mesti berpedoman dan berguru pula kepada Rasulullah. Dengan mengikuti dan berkhidmat kepada para ahli bait (keluarga ruhani) beliau. Seseorang yang terlabih dahulu menempuh perjalanan menuju Allah.
Ketiga-tiganya itu merupakan sarana berguru dan jalan menujuNya. Maka sudah seyogyanya, seorang salik memiliki berguru dari tiga hal sumber ini untuk melengkapi upayanya membangun dialog dengan Rabbnya. [sc]