Apa yang dimaksud agama itu adalah tatanan: A (tidak) gama (kacau). Tatanan di sini termasuk tatanan kesadaran (syahadat), tatanan diri (shalat), tatanan sosial (zakat), tatanan lingkungan (puasa) dan tatanan global (haji). Itulah agama yang dalam Islam terpatri pokok-pokoknya dalam syariat (rukun Islam yang lima).
Agama itu mestinya masuk akal dan memang agama atau sebuah tatanan itu sudah sewajarnya masuk dinalar. Bila tidak masuk akal tiada dia bisa disebut agama. Sebab itu, dalam hukum syariat mereka yang terganggu nalarnya (gila) bolehlah dia dibebaskan hukum taklif (kewajiban agama). Sabda Nabi: Tiada agama bagi dia yang tiada (menggunakan) akal.
Jadi dikatakan seseorang itu tunai syariatnya (secara dasar) syariatnya bila telah memahami dan mengamalkan seluk beluk yang lima ini (syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji). Tiap bagian dari rukun Islam tersebut tentu saja memiliki ilmu, amal dan hikmahnya bilamana dikaji secara nalar (akan saya bahas di lain kesempatan, Insya Allah).
Meskipun demikian, syariat yang sejatinya bisa dinalar tersebut bertujuan agar dapat membawa kita melampaui batas-batas nalar (akal). Sebab di dalam syariat itu terdapat tarekat (jalan) yang mengantarkan pada nilai yang melampaui nalar, yakni hakikat.
Dalam syariat ada tarekat, dalam tarekat ada hakikat dan di dalam hakikat terdapat makrifat. Lantas, apakah tarekat (jalan) itu? Yang dapat mengantarkan kita kepada sesuatu yang melampaui nalar (rukun iman)? Dan apakah hakikat itu yang dapat mengantarkan kita pada Ihsan? @sc